Thursday 12 November 2009

Paiman, Petani Pejuang yang Otodidak


Rabu 11 November 2009, mewakili IRE Yogyakarta, kami berdua melakukan survey ke Ds. Pereng, Kec. Mojogedang, Kab. Karang Anyar, Jateng. Kunjungan pra-kegiatan (sebelum fasilitasi study-banding) tersebut bertujuan untuk ‘kulo nuwun’ sekaligus melihat dari dekat keberadaan Kelompok Tani (KT) Rukun Makaryo, yang juga merupakan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Perkumpulan tersebut telah beberapa kali menyabet gelar juara dan berbagai penghargaan di bidang pertanian, salah satunya juara I tingkat propinsi lomba P3A tahun 2008.
Kami menemui Pak Paiman, seorang tokoh petani yang menyebut dirinya ‘petani utun’, lahir 70 tahun yang lalu. Jebolan SR tahun ke-6 ini telah menggeluti dunia pertanian sejak 1950. Beliau mengaku belajar secara otodidak soal tanah, lahan pertanian dan tumbuh-tumbuhan, dengan cara ‘niteni’ apa yang dilihat dan dikerjakan. “Apa yang ada di depan (lingkungan) saya, itulah guru besar saya” beliau menegaskan.
Pak Paiman juga mengamati dan mempelajari perihal lingkungan masyarakat. Mulai 1997 beliau merintis berdirinya P3A Dharma Tirta “Sumber Mulyo”, guna mengatur distribusi air sungai yang mengalir dari lereng Gunung Lawu, untuk menjamin lancarnya pegairan sawah di beberapa desa di Kecamatan Mojogedang. Hingga saat ini, beliau telah menjadi ketua P3A selama 4 periode.
Inisiatif utuk memajukan kelompoknya terus dilakukan. Beliau juga mendirikan sebuah koperasi kelompok tani “KKT-Tani Makaryo” pada tahun 2005. Harapanya, organisasi ekonomi sosial tersebut bisa mengatasi keterbatasan mereka soal modal dan manajemen pemasaran produk pertanian mereka. Sehingga mereka bisa secara mandiri meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Menurut beliau, untuk sejahtera, “Orang harus menjual produk. Bukan tenaga.” Dan petani bisa menjual produk pertanian. Pak Paiman menggambarkan, beliau sangat prihatin pada banyak masyarakat Indonesia, yang harus berbondong-bondong mencari nafkah ke negeri seberang. Padahal mereka di sana hanya sebagai buruh kasar dan pembantu rumah tangga. Sering mendapat perlakuan tidak manusiawi dan kehilangan harga diri.
***
“Ini karena akal-akalan pemerintah,” kata Pak Paiman melanjutkan kisah pergulatannya dalam mengambangkan P3A Ds. Pereng. Sekitar tahun 1997, menurut beliau, pemerintah telah menarik Jogo Tirto atau Uceng ke kantor desa sebagai seorang Kaur baru. Begitu juga ‘jatah bengkok’ yang dulunya sebagai sumber penghidupan seorang Jogo Tirto juga dikembalikan, menjadi hak desa. Dan petani dianggap tidak lagi diperlukan oleh pemerintah, “Kecuali pas arep pemilu Mas!” tegasnya, sehingga mereka harus berusaha mengatur dirinya sendiri dan mengatasi persoalan yang mereka hadapi sendirian. Padahal, petanilah yang telah menjamin tersedianya bahan pangan di pasaran secara terjangkau. Bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat termasuk para punggawa pemerintah. Situasi tersebut juga mendorong Pak Paiman menciptakan semacam slogan yang selalu terpampang pada brosur dan publikasi yang mereka sebarkan, yakni “Banyu mili anggowo rejeki, wong tani kudu digemateni, margo nandur beras pari”.  
Sedangkan keberadaan Dinas Pengairan, PU, dan PPL yang sebenarnya telah diberi tanggung-jawah pemerintah untuk membantu mengatasi persoalan para petani, terutama pembangunan sarana fisik pertanian ‘primer’ dan ‘sekunder’, juga mengupayakan kemajuan para petani, tidak menjalankan perannya bagi masyarakat tani di Ds. Pereng, tutur Pak Paiman dengan muka masam. Hebatnya para petani yang dimotori Pak Paiman telah tuntas dalam mengatasi kebutuhan infrastruktur ‘tersier’di desanya, sehingga mereka mengaku belum pernah gagal panen, meskipun pemerintah sendiri telah menganggap fasilitas fisik untuk lahan pertanian desa tersebut dianggap gagal. Karena pemerintah melalui PU dan Dinas Pertaniannya tidak pernah memberikan apapun untuk wilayah tersebut. Hal itu yang pemerintah sendiri anggap aneh. Sedangkan bagi Pak Paiman dan teman-temannya, kenyataan tersebut dianggap sebagi fakta yang biasa, karena mereka memang lekat dengan semangat kemandiriannya (self-suficiency). Rupanya Pak Paiman telah berhasil memanfaatkan modal social ‘gotong-royong’ untuk menggerakkan para petani guna mengatasi persoalan pertanian yang sedang mereka hadapi. Sehingga bergemalah uangkapan, Suwe Mijet Wohing Mranti, “Kuwi gampang, pokoke angger gelem gotong-royong rame-rame,” ungkap Pak Paiman dengan antusias.
Menurutnya, beliau juga sering mengorganisir teman-temannya untuk berkumpul di tempat dimana persoalan sedang terjadi. Bisa di sawah atau di pinggiran sungai, untuk kemudian bersama-sama membicarakan dan mencari jalan keluarnya. Kemudian mereka merancang dan mengadakan iuran uang bila memang diperlukan. Dan menurutnya, uang yang bisa terkumpul pada saat pertemuan seperti itu, harus langsung dibelanjakan hingga habis, tanpa sisa. Karena bagi beliau, tidak boleh ada uang kas dalam kelompok tersebut. Menurut beliau, uang kas sulit mengelolanya, malah bisa memicu masalah. Beliau mencontohkan, adanya kelompok petani lain yang sebenarnya memiliki uang kas yang banyak, akan tetapi malah tidak berhasil eksis, karena banyak uang justeru menimbulkan kerawanan untuk disalahgunakan. Sehingga kelompok yang mereka pimpin tidak pernah memiliki kas. “Kasnya ya tenaga kerja sekitar 500 orang itu,” tegasnya sambil tertawa lebar dan mencecak puntung rokok ke asbak di depannya. Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan opersional kantor KT, yang telah menyita setengah dari luas rumah Pak Paiman sendiri, beliau cukupi sendiri. Termasuk biaya penerbitan dua judul buku karyanya dan brosur tentang aktivitas organisasinya, juga beliau tanggung sepenuhnya. Bahkan akhirnya juga habis dibagikan gratis kepada mereka yang kebetulan telah bertemu dengan Pak Paiman. Konon secara total sudah mencapai 5.500 eksemplar. Resiko dari situasi seperti itu, menurut beliau, regenerasi pengurus tidak jalan karena gak ada yang mau menggantikan pengurus lama.
Semangat perjuangan yang tulus itulah rupanya yang membuat Pak Paiman menjadi panutan petani lainya. Beliau mengaku tidak pernah merasa rugi dalam menggunakan hak miliknya untuk kepentingan sosial seperti itu. Beliau mengisahkan juga bahwa pada masa perjuangan kemerdekaan dulu, kakeknya juga turut serta membantu para pejuang, dengan merelakan rumahnya untuk dijadikan tempat tinggal sementara para tentara pejuang kemerdekaan. Dan para tentara tersebut konon juga tidak pernah dibayar, dan para petanilah yang menyediakan logistiknya, menurut kisah Pak Paiman. Nah, kisah seperti itu yang mendorong beliau untuk terus berjuang dengan caranya sendiri, yakni tetap mandiri dan mengabdi untuk negeri ini dengan cara mengembangkan fisi ‘kemandirian’ dan misi melakukan pelatihan-pelatihan perihal pertanian kepada petani lain yang membutuhkan ilmunya. Beliau menandaskan juga bahwa kelompoknya juga telah memberikan sertifikat bagi mereka yang mengikuti pelatihan pertaniannya. Itulah kenapa, beliau semakin populer, semakin sering diundang banyak kalangan untuk menjadi pembicara, di universitas dan pergutuan tinggi, serta pertemuan-pertemuan yang mengulas masalah pertanian, di berbagai wilayah Indonesia. “Hanya ke Papua, saya belum pernah diundang,” kisahnya dengan senyum penuh kerendahan hati. 
Menyinggung perihal penghargaan yang telah diterima dan lomba-lomba yang pernah diikuti, yang bisa bermakna bahwa pihaknya telah dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk mendongkrak citranya, Pak Paiman berkata tegas, “Itu yang ngacarani kan pemerintah. Bagi kami tidak begitu penting. Kemandirian dan bisa hidup, itu tujuan kami”.
***
Pak paiman juga membawa kami untuk melihat-lihat unit usaha lain yang mendukung usaha pertanian kelompoknya. Kami diajak melihat unit instalasi pengolahan dan sampel-sampel pupuk organik baik pupuk cair maupun kering, fungisida dan pestisida nabati (organik), juga beras organik yang telah dikemas rapi dan berlabel. Semua membuat kami takjub, betapa beliau telah menguasai banyak hal dalam bidang pertanian, yang bisa dikatakan sebagai sebuah terobosan cerdas untuk mengatasi banyak persoalan yang tergolong akut.
Dijelakan juga bahwa ada beberapa alasan mengapa beliau beralih ke pertanian sistem organik. Awalnya, pada awal 1997 beliau mulai menyadari adanya degradasi lingkungan yang luar biasa. Lahan petanian jadi tandus. Banyak ditemukan penyakit yang aneh-aneh pada masyarakat. Usia masyarakat cenderung pendek. Tidak banyak lagi ditemukan orang tua yang umurnya panjang dan sehat. “Pertanian yang dulu menjadi sumber penghidupan, kini telah menjadi sumber mala petaka,” pungkas Pak Paiman. Namun, beliau mengaku tidak bisa bicara dan menjelaskan. Selain itu, era Orde Baru masih berjaya. Siapa yang dianggap mbalelo, pasti segera dituding PKI. Apalagi petani kecil seperti Pak Paiman.  
Lebih spesifik lagi, menurutnya ekosistim secara keseluruhan juga mengalami kerusakan. Burung-burung yang dahulu begitu banyak di lingkungannya kini telah mulai punah. Ikan, belut, dan binatang air lain yang dulu begitu mudah ditemukan dan hadir dalam kehidupan kesehariannya, menjadi sulit ditemukan. Suara katak yang nyaring menyanyi di malam hari, sudah tidak semerdu dan seramai dulu, karena populasinya mulai merosot tajam. Beliau mengamati bahwa perubahan situasi yang buruk tersebut sebenarnya sudah beliau rasakan sejak era 80-an, sekitar sepuluh tahun setelah pestisida dan pupuk kimia diperkenalkan dan digunakan oleh petani di daerah tersebut, secara besar-besaran, untuk mendukung program pemerintah.
Kata Pak Paiman, awalnya para petani begitu terpesona dan ‘gandrung’ menggunakan bahan-bahan pendongkrak pruduktifitas pertanian buatan pabrik tersebut. Termasuk beliau sendiri. Akan tetapi kejanggalan mulai terdeteksi, setelah beliau harus menggunakan tidak kurang 8 kwintal pupuk kimia, untuk memenuhi kebutuhan hanya setengah hektar sawahnya. Padahal pada awalnya dia hanya membutuhkan sekitar 25 kg pupuk kimia untuk menyuburkan 1 hektar sawah. Sehingga dia merasakan lonjakan biaya produksi yang luar biasa dalam usaha taninya, sedangkan produktifitas lahanya tidak lagi meningkat, malah cenderung menurun.
Beliau akhirnya menyadari betapa lahan pertaniannya semakin tandus karena residu bahan-bahan kimia tersebut, dan semakin tinggi takaran obat yang mereka butuhkan untuk memberantas hama dan menyuburkan sawahnya. Karena kalau tidak lagi menggunakan bahan-bahan import tersebut bisa dipastikan beliau akan gagal panen, dan kesulitan modal untuk melanjutkan proses pertanian berikutnya. Belum lagi kelangkaan pupuk dan obat-obatan pertanian yang sering beliau alami, sehingga selain harganya menjadi jauh lebih mahal, siklus pertanian yang dijalankan jadi terganggu. Pada akhirnya, turut mempengaruhi kwalitas dan kwantitas hasil panennya. Sehingga Pak Paiman merasa semakin dirugikan.
Dengan beberapa alasan yang dipaparkan diatas, akhirnya sejak tahun 2006 komunitas petani yang diorganisir Pak Paiman menolak penggunaan pestisida kimia dan mulai menggunakan yang organik secara total. Sedangkakan untuk pupuknya, mereka masih menggunakan pupuk kimiawi dengan porsi yang jauh lebih kecil, atau sekedar sebagai pendukung pupuk organik yang juga telah mereka kembangkan. Kedepan, beliau ingin segalanya organik, aman bagi ligkungan dan menjamin kelangsungan usaha taninya. Bisa disimpulkan bahwa kemandirian Pak Paiman dan kelompoknya telah berhasil menjawab kegagalan pemerintah dalam meningkatkan kehidupan petani kecil.
           

Saturday 26 September 2009

Mudik, Apa Yang Salah?

Menyaksikan berita mudik di banyak media cetak dan visual membuat kita semua miris. Betapa banyak orang yang harus meregang nyawa dalam perjalanannya menuju atau kembali dari kampung halamannya. Sungguh ironis, ditengah gegap gempita semangat perayaan hari kemenangan umat muslim, hari raya terbesar di negeri ini, tak sedikit dari kita yang harus meratapi nasib memilukan saudara, kerabat, atau tetangga yang tewas mengenaskan karena kecelakaan di jalan.

Berdasarkan data yang tercatat di media, betapa kematian para pemudik telah menjadi fenamena tahunan di negeri ini. Apa yang salah?

Tercatat ratusan, bahkan ribuan pemudik mengalami nasib sial, mengalami kecelakaan lalu lintas. Posko Angkutan Lebaran 2009 yang berpusat di Departemen Perhubungan, selama dua minggu sebelum dan setelah lebaran, telah mencatat paling tidak 1.444 kasus kecelakaan, yang merenggut 539 nyawa, mengakibatkan 637 orang luka berat, dan 1.394 luka ringan. Bahkan pihak kepolisian telah memperkirakan adanya kerugian material sekitar Rp 2,7 milyar (Kompas 26/9 2009). 

Mungkin ada pendapat yang berpandangan bahwa korban sebanyak itu tidak seberapa, atau rasionya masih rendah, bila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan pemudik yang mencapai lebih dari 27,25 juta orang. Akan tetapi, penyebab kematian yang demikian yang mengusik nalar sehat kita. Karena tragedi dalam perjalanan seperti itu sungguh bisa dihindarkan atau paling tidak dikurangi secara signifikan bila negara berhasil meberikan pelayanan publik yang layak atau yang seharusnya.


Kurang supportnya fasilitas atau infrastuktur yang disediakan negara, telah turut menjadi faktor penyebab terjadinya kecelakaan yang merenggut jiwa, merupakan butki yang sulit dibantah. Pemerintah pusat dan daerah dipandang punya andil dalam persoalan serius tersebut terlihat dari adanya sorotan gencar banyak media tentang belum kelarnya jalur mudik yang dipersiapkan oleh pemerintah.

Buruknya kondisi jalan yang dibiarkan begitu saja, fasilitas penerangan yang kurang, rambu-rambu yang rusak tidak dibenahi, merupakan bentuk kelalaian negera dalam memberikan pelayanan pada rakyat. Keadaan seperti itu tentunya turut menyumbang terjadinya kecelakaan fatal yang menimpa para pengguna jalan.


Kita juga tak bisa menepis bahwa masyarakat sendiri juga turut andil adanya kecelakaan maut tersebut, karena perilaku berlalu-lintas mereka yang kurang disiplin. Sudah menjadi pengetahuan umum betapa para pengendara kendaraan bermotor sering mengabaikan peraturan lalu-lintas yang ada. Mereka cenderung menancap gas ketika melihat lampu kuning menyala, padahal mereka seharusnya mengurangi kecepatan untuk berhenti ketika lampu kuning berganti merah. Banyak juga dari mereka yang mengenakan perlengkapan kendaraan yang tidak layak atau setandart sehingga ketika mengalami kecelakaan justeru akan memperparah akibatnya. Ada juga yang memodifikasi kendaraannya sehingga bisa mengurangi kenyamanan dan meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan yang akan membahayakan tidak hanya dirinya sendiri tapi juga orang lain. 



Sejauh ini para pengendara sepeda motor lah yang sering mengalami kecelakaan serius dan terenggut jiwanya di jalanan. Banyaknya nyawa pengendara motor yang melayang, yang mencapai lebih dari 50%, menunjukkan adanya persoalan serius yang sendang menyelimuti negeri pemudik ini. 

Semua tahu bahwa sepeda motor diciptakan sebagai alat transportasi jaran pendek. Kendaraan tersebut tentunya tidak seharusnya digunakan untuk perjalaman mudik jarak jauh yang mestinya ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat, kereta api, kapal terbang dan kapal laut. Lalu, mengapa mereka nekat menggunakan kendaraan roda dua untuk pulang mudik?


Ada banyak penjelasan empiris, salah satunya adalah, tiket transportasi yang tersedia sangat mahal, dan selalu dinaikkan setiap mejelang lebaran. Belum lagi terbatasnya kursi yang tersedia dalam mode angkutan tersebut. Kemudian ada alasan rasional lain yang mereka pegang, mereka juga membutuhkan kendaraan untuk mobilitas di kampung halaman. Mengunjungi sanak saudara untuk bersilaturohmi. Dan sepeda motor lah yang paling rasional bagi mereka, praktis dan murah.


Mungkin juga mereka pingin menunjukkan pada sanak saudara dan tetangganya di kampung halaman bahwa mereka sebagai perantau telah berubah nasibnya, telah mengalami kemajuan dalam bidang ekonomi, telah memiliki aset yang bisa dipamerkan. Mereka juga manusia yang membutuhkan pengakuan eksistensi, membutuhkan status sosial apresiasi dari teman-teman lamanya. Sehingga resiko besar terkadang tidak terlalu mereka perhitungkan. Bisa jadi faktor-faktor tersebut yang lebih dominan memotivasi mereka untuk mudik menggunakan sepeda motor. 



Sayangnya, kecenderungan ini semakin menggejala beberapa tahun terakhir. Semakin banyak orang yang memanfaatkan sepeda motor untuk pulang kampung. Ada dari mereka yang lebih rasional dengan jauh-jauh hari sebelum lebaran mengirimkan kendaraannya lewat jasa paket pengiriman barang. Nah, kini pemerintah harus mengambil langkah serius untuk mengatasi persoalan tersebut. Pemerintah harus lebih gethol mengatasi kemiskinan, memperbaiki pelayanan publik, juga mendidik masyarakat agar lebih disiplin. Tentunya dengan teladan yang baik.